Menemukan Cara Menulis Naskah yang Baik

sumber gambar: pexels.com

 Menulis itu perlu “tahu dan keberanian”

"Ketika Pramodya Anantatoer berujar “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama  ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Dalam kepenulisan sendiri, Andreas Harsono dalam bukunya Agama saya Jurnalisme menuliskan dua syarat sederhana bila kau ingin “bekerja untuk keabadian” : kau harus tahu dan dan kau harus berani. Apakah itu? yang dimaksud dengan berani dan tahu itu sebenarnya mudah, hanya saja tergantung orang merepresentasikan keduanya. Hal yang perlu semua penulis perhatikan adalah sejauh mana kita menguasai isu yang akan ditulis. Tak perlu menulis tentang idealisme dan wacana yang terlalu berat untuk dikonsumsi karena tulisan yang baik itu adalah ketika orang berhenti selesai membaca mereka bisa mulai berfikir bukannya mereka malah mengulangi tulisannya karena tidak mudah dicerna."
Penulis tak lantas membebek orang lain menulis. Mereka sok pinter mereka sering tak tahu perdebatan-perdebatan yang sudah dilakukan orang-orang macam Michael Sandel dan Thomas Friedman soal globalisasi. Mereka tak tahu kebohongan Mohammad Yamin atau Nugroho Notosusanto dengan apa yang dinamakan Pancasila. Ada ratusan teori soal demokrasi dan mereka belum baca tuntas semuanya. Pakai kata-kata sederhana. Kalimat pendek-pendek.
Mungkin kita mengenal kedua sosok penulis yang banyak tahu dan memiliki keberanian. Sebut saja Widji Thukul dan Pramodya Anantatoer dua  penulis hebat yang pernah dimiliki bangsa ini. Thukul mulai menuliskan masalahnya sehari-hari lewat sajak-sajaknya yang membangun. Dalam sajaknya yang berjudul Tentang sebuah gerakan ia menuliskan “Tadinya aku pengin bilang aku butuh rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah. Ingat: setiap orang! ”.
Sebagai langkah pertama, riset merupakan salah satu bentuk usaha dalam menambah rasa ingin tahu. Membaca atau mewawancara orang adalah jalannya dan ketika hendak melakukan pengutipan lakukanlah kejujuran dan ketransparansian. Mulailah dari hal kecil. Kelak tanpa sadar kita akan sadar bahwasannya telah banyak buku yang dibaca, dan tanpa sadar pula telah ribuan orang yang diwawancara.
Namun, tahu saja tidak cukup. Pasalnya banyak orang yang tahu masih saja tidak bisa menulis karena tidak memiliki keberanian dan nyali dalam mempublikasikan idenya. Pram dipenjara Belanda, Soekarno dan Soeharto juga. Perpustakaan Pram dibakar tentara. Bukunya habis. Kupingnya budek gara-gara hajaran serdadu. Thukul apalagi, hilang tak tau rumbanya dimana.
Mereka berdua tahu kesusahan tetangga mereka yang tukang jahit dan mereka pula tahu kebobrokan tirani pada zamanya. Dan mereka memiliki keberanian untuk menuliskannya untuk membela rakyat jelata. Sosok mereka dibutuhkan hari ini.
Andreas berbagi pengalaman, sebagai seorang wartawan yang sarat akan pengalaman ia kenal banyak wartawan ibu kota negeri ini. Mereka tahu soal kebusukan petinggi negeri ini. Mereka tahu redaktur mereka mulai sering ditelepon bedinde-bedinde si petinggi. Kok nulis ini? Kok nulis itu? tapi mereka tak punya keberanian. Mereka tahu bisnis mereka terganggu. Maka “imbauan” si bedinde di ikuti.

Akibatnya, banyak cerita di belakang layar padahal menarik, tidak bisa lantas di kupas tuntas. Kau maklum saja. Mereka tak punya keberanian macam Pram dan Thukul. Mereka lebih takut ditegur redakturnya. Mereka ketakutan macam anjing sembunyi ekor dibalik pantat. Pesan dalam bukunya tertulis. Maka ada dua syarat sederhana kalau kau ingin menulis. Kau harus tahu sekecil apapun yang kau tulis. Dan  kau harus berani. Sudahlah !

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon