Aku, tak sengaja tempo lalu membalas pesan
singkat yang kamu kirim melalui aplikasi masa kini, whatsapp. Bukan aku sedang
marah, ataupun kesal. Sama sekali bukan. Bukan itu yang menjadi alasan
rumit yang aku jadikan sebagai pondasi pembelaan diri. Aku tak bermaksud, namun
penuh dengan nalar. Namun kebiasaan itu, selalu menjadi pembawaan ada pada diriku. Kepada siapapun,
aku selalu seperti itu. tidak pernah membaca ulang kata yang aku ketik sebagai
balasan atau pun caption yang aku tulis. Sudahlah, semua itu aku anggap
sebagai tulisan yang aku ucapkan.
Namun dalam bayang terlintas, bahwa aku
sudah tahu. Hal ini akan membuatmu memalingkan raut wajah, bermurung durja dan
melempar murka. Aku pun menyadarinya, salah dalam mengambil sikap terhadap
permintaan mu seperti biasa, manja. Aku paham, sangat paham. Karena, dalam
sebuah teori baru yang aku dapatkan. Hal yang harus diketahui laki-laki
terhadap perempuan adalah sebuah perhatian, berbeda halnya dengan lak-laki,
mereka butuh pengakuan.
Aku, mungkin kamu tidak pernah merasakan
tentang perhatian apa yang aku siapkan. Tentang perhatian apa yang aku berikan,
tentang perhatian apa yang selalu aku simpan. Hanya saja, aku merasa aku adalah
orang yang bisa kapan saja kamu inginkan, dan sesudahnya tersimpan disebuah
tempat yang akan kamu kunjungi sesuka hati, seperti sebuah Flasdisk yang
kapanpun dengan ikhlas menerima semua data-datanya dihapus. Begitupun aku.
Namun, aku tidak pernah bertanya untuk apa ?
untuk apa aku melakukan semua ini, walaupun kamu menyadari, keinginan untuk
melakukan hal yang sama. Seperti halnya hujan, ia selalu terjatuh untuk membuat
dirinya manfaat, tidak pernah mengeluh, selalu seperti itu. tapi aku bukan
untuk kau ingat dalam sebuah kebaikan, ataupun bermaksud memaksa untuk mengingat
tentang kebaikan-kebaikan ku. Hanya saja, tidak harus kamu mengulangi hal yang
sama terhadap orang lain.
Aku, sudah tidak lagi mencoba untuk merasa kecewa, tidak
lagi mencoba untuk berharap, tidak lagi mencoba untuk menjauh, karena bagiku.
Cinta akan datang, ketika kita mencoba mencari dan menemukan. Banyak yang aku
temukan dalam pencarian ini, jangan pernah kita mengatatakan “ini jodohku”.
Bukan berarti aku akan melupakan dan berhenti berharap, hanya saja pergilah
jika meniggalkan ku adalah sebuah pilihan. Aku tidak berhak untuk ikut
menentukan. Tanpa syarat.
Namun, aku percaya akan janji yang tertuang
dalam lembaran Lauh Al-Mahfuz. Apa yang mereka sebut dengan Takdir.
Aku, entah mengapa selalu cemburu, ketika pengakuan
itu kau umbar kepada siapa saja, bayangkan, dalam gagasan kamu yang membuat aku
merasa bahagia, kamu adalah hal yang pernah aku temukan. Tapi sayang, kamu
melakukan hal yang sama kepada orang lain. Meskipun hadirmu dalam catatan hidupku
hanya sekilas, tapi berhasil membuatku selalu ingin kembali untuk berkarya,
kerja keras dan berharap. Bahwa ketika pergantian pagi terjadi, ada harap yang diperjuangkan. Menemukan masa depan.
Namun, sayang, halaman yang aku buka tidak
melulu terhias dengan cerita indah. Tidak melulu tentang kenyataan yang dibuat,
dan salah ketika hadir dalam kenyataan yang masih tertuang pada sebuah gagasan.
Chapter II
sumber gambar: Pexels.com |
Tulisan ini tidak bercerita tentang permulaan bagaimana kita bisa saling sapa, bahkan lebih dari itu, membalas untuk saling cinta, menebarkan kasih sayang, itulah yang pernah kita lakukan. Meskipun dalam beberapa pandangan, kita salah melakukan hal itu. apa yang mereka sebut dengan “berpacaran”. Hanya saja, aku bukan orang yang nekad untuk melamar mu dan bersama membangun rumah tangga tanpa pengalaman dan kasih sayang berbentuk Dollar.
Untuk malam kemarin, terimakasih. Kamu telah
memberikan kebahagiaan yang aku pun tidak sadar bahwa itu bentuk kebahagiaan.
Bersama mu aku semakin bisa melawan rasa takut, apa yang orang katakan tentang bahagia? semua orang siap
untuk melakukannya. Untuk menderita? Apalagi menyinggung perjuangan? Untuk saling memberikan
dorongan? Menjaga dan memahami setiap takdir yang Allah berikan? Percayalah,
aku tetap percaya bahwa orang baik tidak melulu berpasangan dengan orang baik,
tapi mereka orang baik akan menemukakn orang yang akan terus berusaha lebih
baik lagi untuk saling melengkapi.
Nian, terimaksih. Bahwa harapan itu tidak bisa terwujud dengan sulap, tidak tercipta karena menapikan kesabaran, apalagi sampai meragukan keyakinan. Karena harapan adalah mantra sakti. Siapa pun berhak memilikinya. Bukan aku lemah dalam perjuangan. Jangan pernah menyalahkan diri.
Aku yang salah.
Nian, terimaksih. Kamu melontarkan keputusan
mu kepadaku, seolah aku yang harus bertanggung jawab atas pernyataan itu. ku kira kamu akan menancapkan cinta sehingga merawatnya sampai mengakar, tapi ternyata. kau menancapkan luka yang kendak kamu tinggalkan.
Nian, terimaksih. Karena cinta yang membuat
saya rajin membaca, rajin berfikir, rajin usaha, rajin shalat. Karena saya
percaya, bahwa hidayah itu Tuhan titipkan kepada siapa saja. Dan terimakasih,
Tuhan menitipkan hidayahnya kepada mu. Saya rasa tepat, meskipun untuk hari ini
dan entah kapan waktu nya lagi kembali. Tuhan telah mencabutnya. Hari ini kau
memilih dan jangan pernah kau menyesalinya. Biarlah. Aku ikhlas.
Nian, terimaksih. Bahwa menuntut itu perlu,
aku rasa seperti itu. karena aku percaya, dalam sebuah penuntutan kita akan sadar tanggung jawab. Sekali lagi terimaksih. Aku yang tidak bisa memanfaatkan
peluang. Tapi keputusan itu mengajarkan aku bahwa. Kesempatan itu tidak akan
pernah datang berulang. Terimaksih pula, kau selalu memikirkan aku telah bersama
orang lain. Tentang Nuzulla tempo lalu dan terjadi lagi pada Qibthiya hari ini.
Nian, terimaksih. Bahwa kamu mengingatkan aku
kembali tentang konsep sabar. Ternyata Sabar tidak pernah ada batasan. Aku kira,
kejadian kemarin malam adalah bentuk dari sabar saya selama ini. Ternyata
bukan. Ternyata sabar tidak pernah hadir kala kita menyadarinya sebagai
batasan.
Nian, Terimakasih. Untuk semuanya. Dan ini
tulisan terakhir (Anggap saja surat) dari saya untuk kamu. Hadirku sudah cukup disini. Jakarta, 02 Maret 2020 -Marjiun Saptuari