Kala Senja Tak (lagi) Biasa

sumber gambar: Pexels.com
Chapter I
Aku, tak sengaja tempo lalu membalas pesan singkat yang kamu kirim melalui aplikasi masa kini, whatsapp. Bukan aku sedang marah, ataupun kesal. Sama sekali bukan. Bukan itu yang menjadi alasan rumit yang aku jadikan sebagai pondasi pembelaan diri. Aku tak bermaksud, namun penuh dengan nalar. Namun kebiasaan itu, selalu menjadi pembawaan ada pada diriku. Kepada siapapun, aku selalu seperti itu. tidak pernah membaca ulang kata yang aku ketik sebagai balasan atau pun caption yang aku tulis. Sudahlah, semua itu aku anggap sebagai tulisan yang aku ucapkan.
Namun dalam bayang terlintas, bahwa aku sudah tahu. Hal ini akan membuatmu memalingkan raut wajah, bermurung durja dan melempar murka. Aku pun menyadarinya, salah dalam mengambil sikap terhadap permintaan mu seperti biasa, manja. Aku paham, sangat paham. Karena, dalam sebuah teori baru yang aku dapatkan. Hal yang harus diketahui laki-laki terhadap perempuan adalah sebuah perhatian, berbeda halnya dengan lak-laki, mereka butuh pengakuan.
Aku, mungkin kamu tidak pernah merasakan tentang perhatian apa yang aku siapkan. Tentang perhatian apa yang aku berikan, tentang perhatian apa yang selalu aku simpan. Hanya saja, aku merasa aku adalah orang yang bisa kapan saja kamu inginkan, dan sesudahnya tersimpan disebuah tempat yang akan kamu kunjungi sesuka hati, seperti sebuah Flasdisk yang kapanpun dengan ikhlas menerima semua data-datanya dihapus. Begitupun aku.
Namun, aku tidak pernah bertanya untuk apa ? untuk apa aku melakukan semua ini, walaupun kamu menyadari, keinginan untuk melakukan hal yang sama. Seperti halnya hujan, ia selalu terjatuh untuk membuat dirinya manfaat, tidak pernah mengeluh, selalu seperti itu. tapi aku bukan untuk kau ingat dalam sebuah kebaikan, ataupun bermaksud memaksa untuk mengingat tentang kebaikan-kebaikan ku. Hanya saja, tidak harus kamu mengulangi hal yang sama terhadap orang lain.
Aku, sudah  tidak lagi mencoba untuk merasa kecewa, tidak lagi mencoba untuk berharap, tidak lagi mencoba untuk menjauh, karena bagiku. Cinta akan datang, ketika kita mencoba mencari dan menemukan. Banyak yang aku temukan dalam pencarian ini, jangan pernah kita mengatatakan “ini jodohku”. Bukan berarti aku akan melupakan dan berhenti berharap, hanya saja pergilah jika meniggalkan ku adalah sebuah pilihan. Aku tidak berhak untuk ikut menentukan. Tanpa syarat.
Namun, aku percaya akan janji yang tertuang dalam lembaran Lauh Al-Mahfuz. Apa yang mereka sebut dengan Takdir.
Aku, entah mengapa selalu cemburu, ketika pengakuan itu kau umbar kepada siapa saja, bayangkan, dalam gagasan kamu yang membuat aku merasa bahagia, kamu adalah hal yang pernah aku temukan. Tapi sayang, kamu melakukan hal yang sama kepada orang lain. Meskipun hadirmu dalam catatan hidupku hanya sekilas, tapi berhasil membuatku selalu ingin kembali untuk berkarya, kerja keras dan berharap. Bahwa ketika pergantian pagi terjadi, ada harap yang diperjuangkan. Menemukan masa depan.
Namun, sayang, halaman yang aku buka tidak melulu terhias dengan cerita indah. Tidak melulu tentang kenyataan yang dibuat, dan salah ketika hadir dalam kenyataan yang masih tertuang pada sebuah gagasan.

Chapter II

sumber gambar: Pexels.com
“Sesuatu yang membuat kita bahagia tidak melulu tentang uang, sahabat terbaik adalah penggantinya” tidak bisa aku memungkiri, bahwa kamu orang baik, kepada siapapun. Tapi ingat, aku pernah berpesan untuk tidak seharusnya kamu samakan perhatian itu. Terimaksih untuk semua ini.

Tulisan ini tidak bercerita tentang permulaan bagaimana kita bisa saling sapa, bahkan lebih dari itu, membalas untuk saling cinta, menebarkan kasih sayang, itulah yang pernah kita lakukan. Meskipun dalam beberapa pandangan, kita salah melakukan hal itu. apa yang mereka sebut dengan “berpacaran”. Hanya saja, aku bukan orang yang nekad untuk melamar mu dan bersama membangun rumah tangga tanpa pengalaman dan kasih sayang berbentuk Dollar.
Untuk malam kemarin, terimakasih. Kamu telah memberikan kebahagiaan yang aku pun tidak sadar bahwa itu bentuk kebahagiaan. Bersama mu aku semakin bisa melawan rasa takut, apa yang orang katakan tentang bahagia? semua orang siap untuk melakukannya. Untuk menderita? Apalagi menyinggung perjuangan? Untuk saling memberikan dorongan? Menjaga dan memahami setiap takdir yang Allah berikan? Percayalah, aku tetap percaya bahwa orang baik tidak melulu berpasangan dengan orang baik, tapi mereka orang baik akan menemukakn orang yang akan terus berusaha lebih baik lagi untuk saling melengkapi.
Nian, terimaksih. Bahwa harapan itu tidak bisa terwujud dengan sulap, tidak tercipta karena menapikan kesabaran, apalagi sampai meragukan keyakinan. Karena harapan adalah mantra sakti. Siapa pun berhak memilikinya. Bukan aku lemah dalam perjuangan. Jangan pernah menyalahkan diri. Aku yang salah.
Nian, terimaksih. Kamu melontarkan keputusan mu kepadaku, seolah aku yang harus bertanggung jawab atas pernyataan itu. ku kira kamu akan menancapkan cinta sehingga merawatnya sampai mengakar, tapi ternyata. kau menancapkan luka yang kendak kamu tinggalkan.
Nian, terimaksih. Karena cinta yang membuat saya rajin membaca, rajin berfikir, rajin usaha, rajin shalat. Karena saya percaya, bahwa hidayah itu Tuhan titipkan kepada siapa saja. Dan terimakasih, Tuhan menitipkan hidayahnya kepada mu. Saya rasa tepat, meskipun untuk hari ini dan entah kapan waktu nya lagi kembali. Tuhan telah mencabutnya. Hari ini kau memilih dan jangan pernah kau menyesalinya. Biarlah. Aku ikhlas.
Nian, terimaksih. Bahwa menuntut itu perlu, aku rasa seperti itu. karena aku percaya, dalam sebuah penuntutan kita akan sadar tanggung jawab. Sekali lagi terimaksih. Aku yang tidak bisa memanfaatkan peluang. Tapi keputusan itu mengajarkan aku bahwa. Kesempatan itu tidak akan pernah datang berulang. Terimaksih pula, kau selalu memikirkan aku telah bersama orang lain. Tentang Nuzulla tempo lalu dan terjadi lagi pada Qibthiya hari ini.
Nian, terimaksih. Bahwa kamu mengingatkan aku kembali tentang konsep sabar. Ternyata Sabar tidak pernah ada batasan. Aku kira, kejadian kemarin malam adalah bentuk dari sabar saya selama ini. Ternyata bukan. Ternyata sabar tidak pernah hadir kala kita menyadarinya sebagai batasan.
Nian, Terimakasih. Untuk semuanya. Dan ini tulisan terakhir (Anggap saja surat) dari saya untuk kamu. Hadirku sudah cukup disini. Jakarta, 02 Maret 2020 -Marjiun Saptuari

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon