Sebagai Muslim, Kaji Ulang Steatment “Good News Is A Bad News” di Media

.
      Sumber Gambar: Google.Inc
Membuka tulisan ini dengan kutipan khas jurnalistik yang berkenaan dengan paradigma pers adalah "Bad News is a Good News”.
Istilah ini populer dikalangan para jurnalis sebagai patokan kriteria dalam pencarian berita. Ibarat tertiban durian runtuh, jurnalis yang mendapatkan berita “buruk” seolah mendapatkan oase di tengah padang pasir. Pandangan saya mengenai statment ini ada dua; pertama, mengambil sudut pandang agama islam, ini bisa mendekati kepada “ghibah”.
Sebagaimana  Firman Allah SWT yang tertulis dalam Al-Qur’an AL Hujurat ayat 12, “Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Apakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allaah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Kedua, ketika digunakan dalam konteks penyajian berita, hal ini tergantung bagaimana masyarakat menerimanya. Mereka akan melihat berita bad news ini sesuatu yang mempunyai pesan moral untuk senantiasa berbuat baik. Namun jika masyarakat menilai bahwa berita "bad news" adalah sesuatu yang biasa dilakukan dan tidak terdapat hukuman sosial didalamnya, maka itu yang celaka. Contoh kasus, maraknya korupsi di Indonesia merupakan sebab alasan utama sumber daya manusia kita tidak pernah bisa diperhatikan, imbasnya kemiskinan sudah bukan lagi bentuk dari penderitaan. Hal ini bisa jadi karena pemberitaan media terhadap pejabat korupsi tida k pernah surut.  
Kasus korupsi di “tanah air beta” ratingnya selalu ada di puncak, tidak mau turun. Dalam teori social identification kita harus mengenal bahwa prilaku seseorang akan dipengaruhi oleh prilaku orang lain disekitarnya. Bisa jadi, karena kebanyakan para pejabat yang padahal (karyawan rakyat) ini selalu membuka praktek korupsi, mengakibatkan orang-orang idealis merubah visinya dengan sedikit realistis.
Menjadi sebuah pilihan yang sukar menentukan jawaban, sebenarnya tidak ada yang salah dengan paradigma yang membuat wartawan keki dalam mengambil sikap. Harus ada sinergitas dengan membangun integritas satu visi antara lembaga pers dan hukum. Kejelasan hukum di Indonesia masih bisa tersamarkan dengan awan hitam berbentuk dolar, Hakim masih doyan di suap pake rupiah. Dan masyarakat hanya menjadi pembayar pajak yang taat.
Sehingga Alternative yang dipakai dalam persoalan ini kembali kepada masyarakat. Bagaimana mereka harus mampu mengawal pemerintahan yang sudah terkekang system jahanam. Optimalisasi keberadaan mahasiswa sebagai agent of change, pemberdayaan mahasiswa kritis dalam melihat gejala yang rusak. Bukannya mahasiswa yang terbangun dalam “i love you too” setiap hari berdurasi 3 jam di TV Masa Kini. Kita sebenarnya tidak bisa menggantungkan peruntungan pada orang lain. Malah sebaliknya mereka yang “katanya” membawa perubahan terhadap daerah kekuasaannya  yang menggantungkan diri kepada rakyat. Kalau rakyat gak mau milih dia? Iya terpaksa, bermain lagi di proposal dan proyek.

Bagi Jurnalis, ketika dihadapkan dengan beberapa peristiwa yang mengandung nilai-nilai berita, besar kemungkinan mereka akan meliput semua  peristiwa untuk dikemas menjadi tulisan utuh, tanpa menuai pertanyaan, Apakah ini Bad News or Not?. Bad News Is A God News mungkin dalam masa kadaluarsa.

Artikel Terkait

4 komentar

Jurnalistik itu harus independent tanpa intervensi. Mantap gan

Titik tolaknya hanya pada antara mempertahankan idealisme atau mengejar realitas.

ini masih prolog, coba kasih sample kasus dimana jurnalistik diperlakukan sepertihalnya latar belakang diatas.


EmoticonEmoticon